Archive for September, 2009

PPH 21 & PPN 10%

*PAJAK, PPH 21, & PPN 10%*

-PAJAK-


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut pemerintah berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Terdapat dua macam pajak di dalam istilah Ekonomi Dasar Perpajakan, Yaitu Pajak langsung dan Pajak tidak langsung.

a. Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak setelah muncul atau terbit Surat Pemberitahuan / SPT Pajak atau Kohir yang dikenakan berulang-ulang kali dalam jangka waktu tertentu. Contoh dari pajak langsung adalah pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penerangan jalan, pajak kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.

b. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak pada saat tertentu / terjadi suatu peristiwa kena pajak seperti misalnya pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan lain-lain.

1.1. Ciri-ciri Pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.”
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan      perundag-undangan.

Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

Pajak Negara terdiri dari empat macam, yaitu Pajak penghasilan (PPH), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Disini saya hanya akan membahas tentang dua macam pajak yaitu mengenai Pajak Penghasilan (PPH) dan Pajak Penambahan Nilai (PPN).

-PAJAK PENGHASILAN (PPH) 21-


PPh atau Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honor / honorarium, upah, tunjangan dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, jabatan dan kegiatan.

Dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2009 tentang PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Tertentu.
Kategori tertentu masuknya :
a) kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b) kategori usaha perikanan; dan
c) kategori usaha industri pengolahan,
yang rincian jenis usaha dan kode KLU yang dimaksud kategori tertentu ada di Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2009.

PPh Pasal 21 DTP diberikan bagi mereka yang berpenghasilan lima juta rupiah kebawah. Praktisnya, PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah adalah PPh atas gaji antara PTKP sampai lima juta rupiah. Sedangkan jika pekerja memperoleh penghasilan diatas lima juta maka PPh-nya tidak ditanggung oleh pemerintah. Silakan cek contoh 4 dibawah.

Contoh perhitungan PPh Pasal 21 yang ada dibawah ini adalah salinan dari PER-22/PJ/2009. Silakan dicermati! Sebelum ke contoh, bagi yang belum terbiasa saya ingatkan bahwa angka dalam tanda kurung berarti mengurangi atau angka minus.

Contoh :

Pak Doni adalah pegawai tetap di PT. Suka Jaya. PT. Suka Jaya merupakan perusahaan yang bergerak pada kategori usaha industri pertenunan dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 17114. Pada bulan April 2009 Pak Doni memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebesar Rp5.000.000 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp25.000. Pak Doni menikah dan mempunyai 2 anak (status K/2).
a) Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang bulan Maret 2009:
Penghasilan bruto sebulan Pengurangan: Rp 5.000.000
Biaya jabatan 5% x Rp 5.000.000 =(Rp 250.000)
Iuran Pensiun (Rp 25.000)
Penghasilan Neto sebulan Rp 4.725.000
Penghasilan neto setahun Rp.4.725.000 x 12 = Rp56.700.000

b) Besarnya penghasilan yang diterima Peri Irawan [take home pay] apabila PPh Pasal 21 tidak ditanggung pemerintah
Penghasilan bruto sebulan Rp 5.000.000
Dikurangi iuran pensiun Rp (25.000)
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp (153.750)
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 4.821.250

c) Besarnya penghasilan yang diterima Peri Irawan [take home pay] apabila PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah :
Besarnya penghasilan apabila PPh Pasal 21 tidak DTP Rp 4.821.250
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Rp 153.750
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 4.975.000

2.1. Subyek pajak penghasilan :
Menurut Undang Undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, yang merupakan subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
1. Subyek pajak pribadi yaitu setiap orang yang tinggal di Indonesia atau tidak bertempat tinggal di Indonesia yang mendapatkan penghasilan dari indonesia.
2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah   meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
3. Subyek pajak badan yaitu perkumpulan orang dan/atau modal baik melakukan usaha maupun tidak melakukan kegiatan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan bentuk usaha apapun seperti firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, perkumpulan, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

2.2. Bukan subyek pajak penghasilan :
1. Sedangkan Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak ialah sebagai berikut:
2. Badan perwakilan negara asing.
3. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat – pejabat lain dari negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
4. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
5. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.3. Pihak Yang Masuk Dalam Golongan Pemotongan PPh Pasal 21 :
1. Pihak pemberi kerja yang terdiri atas orang pribadi dan badan.
2. Perusahaan, Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
3. Bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah /pemda.
4. Dana pensiun, PT Taspen, PT Asabri, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
5. Yayasan, asosiasi, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, kepanitiaan, perkumpulan dan organisasi lainnya serta organisasi internasional yang telah ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

2.4. Pihak Yang Tergolong Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21 :
1. Penerima honorarium / honor
2. Penerima upah
3. Tenaga lepas seperti seniman, penceramah, pengelola proyek, peserta perlombaan, olahragawan, pemberi jasa, petugas dinas luar asuransi.
4. Distributor MLM atau direct selling dan kegiatan lain yang sejenis.
5. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua / Jaminan Hari Tua.
6. Tenaga ahli seperti pengacara, arsitek, notaris, aktuaris, penilai, konsultan, akuntan, dokter, dan lain sebagainya.
7. Pegawai tetap.

2.5. Pihak Yang Penghasilannya Tidak Terkena Potongan PPh Pasal 21 :
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari perwakilan negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama. Syaratnya adalah bukan warga negara Indonesia (WNI) dan selama berada di Indonesia tidak menerima bentuk penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya. Selain itu negara tempat perwakilan asing tersebut juga memperlakukan yang sama terhadap perwakilan dari Indonesia berdasarkan asas timbal balik (riciprocitas).
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan selama orang tersebut bukan WNI dan tidak menjalankan usaha, pekerjaan atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

2.6. Penghasilan Yang Tidak Kena Potongan Pajak Penghasilan / PPh Pasal 21 :
1. Pembayaran asuransi pada asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi bea siswa, dan asuransi dwiguna.
2. Iuran pensiun yang dibayar kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayarkan oleh pemberi kerja.
3. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali bentuk natura yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak.
4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lain dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah.
5. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja
6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga atau badan amil
7. zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

2.7. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 / PPh21:
1. Pegawai Negara, Pegawai Negeri Sipil / PNS, anggota TNI Polri yang menerima honorariun serta bentuk imbalan lain yang berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah penghasilan dipotong pph 21 sebesar 15% kecuali untuk golongan IId atau lebih rendah, TNI Polri pangkat Peltu ke bawah atau Ajun Insp. / Tingkat I ke bawah.
2. Orang yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang jumlahnya lebih dari Rp. 24.000 sehari namun kurang dari Rp. 240.000 kena potongan 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi dengan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) harian atau apabila tahunan maka dibagi 360.
3. Orang yang menerima pesangon, Tunjangan Hari Tua, Tebusan Pensiun atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus. Untuk yang nominalnya antara Rp. 25.000.000 sampai dengan Rp. 50.000.000 terkena potongan pph21 sebesar 5%. Untuk antara Rp. 50.000.000 sampai dengan Rp. 100.000.000 terkena pph 21 sebesar 10%. Kemudian untuk antara Rp. 100.000.000 sampai dengan Rp. 200.000.000 dipotong pph21 20% dan yang terakhir apabila menerima Rp. 200.000.000 lebih terkena potongan pph21 25%.
4. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dikenakan potongan penghasilan pph 21 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto yaitu 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto. Tenaga ahli contohnya seperti arsitek, dokter, pengacara, akuntan, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.
5. Orang yang menerima honor atau honorarium, hadiah / penghargaan, bea siswa, uang saku, komisi, dan bentuk pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan. Mantan Pegawai yang menerima jasa produksi, bonus, gratifikasi dan tantiem. Peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun semua dikenakan tarif berdasarkan pasal 17 Undang-undang PPh dikali Penghasilan Bruto.
6. Pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai, penerima pensiun bulanan, distributor multi level marketing atau MLM serta direct selling dan kegiatan sejenis dikenakan tarif sesuai dengan yang ada di Pasal 17 Undang-Undang PPh 21 dikali dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Berikut ini adalah cara menghitung penghasilan kena pajak / pkp :
– Pegawai tetap dihitung dengan cara mengurangi penghasilan kotor dengan biaya jabatan sebesar 5% maksimal Rp. 1.296.000 setahun atau Rp. 108.000 per bulan dikurangi lagi dengan biaya iuran pensiunm iuran jaminan hari tua dan dikurangi lagi dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.
– Penerima pensiun bulanan dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiunan sebesar 5% dikurangi Rp. 432.000 setahun atau Rp. 36.000 sebulan, lalu dikurangi lagi dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.
9. Untuk pegawai tidak tetap, calon pegawai, pegawai magang / pemagang dihitung dengan cara mengurangi penghasilan kotor dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.
10. Untuk Distributor multi level marketing atau mlm, direct selling dan yang mirip atau sejenis dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan PTKP perbulan.

-PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 10%-

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Ada dua istilah yang harus dipahami untuk memahami PPN. Pertama adalah istilah pajak masukan (biasa disingkat PM). Istilah ini diperuntukan PPN yang kita bayar saat kita beli suatu barang atau jasa. Walaupun PPN tersebut dibayar kepada penjual barang atau jasa tetapi kita dapat menganggap jika PPN tersebut telah dibayar kepada kas negara. Jadi, pajak masukan merupakan kredit pajak kecuali jika UU PPN 1984 mengecualikan (biasa disebut PM yang tidak dapat dikreditkan).

Kedua adalah pajak keluaran (biasa disingkat PK). Istilah ini diperuntukkan bagi PPN yang kita pungut dari pembeli barang atau pengguna jasa. Pada saat beli barang kita bayar PPN tetapi PPN tersebut akan “diganti” oleh pembeli barang saat barang tersebut kita jual kembali. Begitu seterusnya sampai barang itu ke konsumen akhir.

PPN yang kita bayar ke kas negara adalah selisih PK dikurangi PM. Mungkin dengan contoh akan lebih jelas. Kita beli barang Rp.1000 ditambah PPN 10%. Uang yang kita keluarkan saat beli adalah Rp.1100, yaitu Rp.1000 untuk harga barang dan Rp.100 untuk PPN. Barang tersebut kemudian kita jual kembali seharga Rp.1500 ditambah PPN 10%. Uang yang kita terima saat jual barang tersebut adalah Rp.1650, yaitu Rp.1500 untuk harga barang dan Rp.150 untuk PPN. Dan PPN yang kita bayar ke kas negara atas transaksi tersebut adalah Rp.50 yaitu PK = Rp.150 dikurangi PM = Rp.100.

PPN yang kita bayar ke kas negara sebesar Rp.50 adalah 10% dari Rp.500 yaitu “pertambahan nilai” dari harga beli barang Rp.1000 dan harga jual barang Rp.1500. Dari contoh tersebut terlihat jika PPN yang kita bayar pada saat beli barang “mendapat penggantian” pada saat jual barang. Dan pajak yang kita bayar benar-benar hanya berasal dari pertambahan nilai.

Cara ini mengharuskan tidak ada pengecualian PPN dari semua tingkatan perdagangan. Jika ada satu jenis barang yang mengalami “pemutusan” sistem maka akan terjadi PPN atas PPN atau pajak berganda. Pengecualian objek PPN menyebabkan PPN menjadi komponen biaya. Pada saat dikecualikan, tidak ada lagi mekanisme PK – PM. Karena tidak ada mekanisme PK – PM masa semua harga yang kita bayar adalah nilai pembelian. Padahal pada contoh diatas, harga pembelian terdiri dari harga barang itu sendiri dan PPN.

Dua jalur itu (harga barang dan PPN) seperti rel kereta api. Dia selalu beriringan jika sistem PPN tidak putus. Jika sistem PPN putus maka rel tersebut menjadi satu, PPN menjadi biaya atau harga pokok. Contoh pengecualian objek PPN atau pemutusan mekanisme PPN adalah produk pertanian.

Produk pertanian yang dihasilkan oleh petani (saat ini) bukan objek PPN. Padahal saat beli pupuk, dia telah membayar PPN atau PM. Tetapi PM tersebut tidak dapat dikreditkan atau tidak mendapat “penggantian” saat hasil pertanian dijual. Memang pada saat jual, dia tidak memungut PPN dan tidak ada PPN yang harus dibayar ke kas negara. Tetapi petani tersebut sebenarnya telah membayar PPN sebesar 10% dari harga pupuk.

3.1. Perkecualian
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

3.1.1. Barang tidak kena PPN
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
– Minyak mentah.
– Gas bumi.
– Panas bumi.
– Pasir dan kerikil.
– Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
– Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih       bauksit.

b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
– Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
*. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
*. Gilingan.
*. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
*. Beras pecah.
*. Menir (groats) beras.

– Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
*. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
*. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
*. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.

–  Sagu, dalam bentuk:
*. Empulur sagu.
*. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
*. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.

– Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
*. Garam meja.
*. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar                NaCl 94,7%.

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,              dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat            maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha          katering atau usaha jasa boga.

3.1.2. Jasa tidak kena PPN
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
– Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
– Jasa dokter hewan.
– Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
– Jasa kebidanan dan dukun bayi.
– Jasa paramedis dan perawat.
– Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
– Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
– Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
– Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
– Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
– Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
– Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
– Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
– Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).
c. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
– Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
– Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
– Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
d. Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
– Jasa pelayanan rumah ibadah.
– Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
– Jasa lainnya di bidang keagamaan.
e. Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
– Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
– Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
– Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
– Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
– Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.

f. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
– Jasa tenaga kerja.
– Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
– Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

g. Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
– Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,  motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
– Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).